Senin, 26 Mei 2008

Kamu Orang Indonesia? Kamu Harus Tahu Kamu Punya Tetangga Namanya Malaysia

Lagi lumayan rame kan tentang indonesia dan malaysia di media massa belakangan ini? yaa,banyak hal..

-perlakuan semena-mena terhadap tki kita..ya dicambuk,ya disuruh tidur di lantai,ya diancam gunting telinga, ya disuruh loncat dari jendela..
-lagu kita diklaim milik mereka..rasa saya nge dan jali-jali..
-Batik parang buatan Yogya juga dibuat hak paten sama mereka..
-Pulau Sipadan dan Ligitan sudah diembat juga..
- Tari Poco2 juga saya dengar dianggap tarian asli daerah sana--hopefully saya salah dengar..
-Ya mereka dikabarin ga ngehargain kita lebih dari sekedar tenaga kasar lah. Ya mereka nyebut kita dengan panggilan Indon, lah..etc..

Nah, nah, terusik ga harga diri kamu?
Terus apa yang mau kamu lakukan? Marah? Pundung? Ngomel? Musuhin anak Malaysia?
Gaak! Ga usah gitu, kita kan udah dewasa. Karena itu kita pasti tau kalo
yang namanya pemerintah Malaysia itu BEDA sama rakyat Malaysia. Pemerintah
Malays ia emang arogan, tapi rakyat Malaysia ga gitu ngerti tentang masalah
ini karena memang media massa mereka ga ngeberitain ini. Akhirnya pas ada ribut
gini, mereka cuma bisa bingung: Indon kenapa sih??Apa mereka cemburu banget ya
liat keberhasilan kita??
Waduh,pada hal bukan begitu kan.

Kita masih muda dan kita bisa tunjukin gimana jernihnya pikiran kita. Harus diakui kalo memang kita ketinggalan jauh dari Malaysia. Terutama sektor pertumbuhan ekonomi, kesehatan masyarakat, kualitas pendidikan, yah kesejahteraan secara umum. Dan kita ga boleh sok gengsi untuk belajar dari mereka. Konsistensinya, efektivitas progr am2 pemerintahnya, etc.

Tapi juga ga tepat kalo pemerintah Malaysia jadi ngerasa superior terhadap
kita. Anwar Ibrahim aja ngakuin kalo selepas kemerdekaan Malaysia tahun 1957,
Malaysia tuh benar2 tergantung sama kita. Kita ngirim ribuan dokter, guru, tenaga ahli kesana. Ya untuk ngedidik mereka! Ya untuk bantu mereka! Mereka juga mesti ngaku kalo orang sana ga banyak yg sekreatif Indonesia dari bidang seni. Belum ada yang ngalahin Rendra dan Chairil Anwar, kan? Juga dari dinamika kemahasiswaan dan aktivitasnya. .Bukan rahasia kalo pelajar Indonesia lebih bernyali untuk unjuk
pendapat, dsb..

Ya kalo kita mau dihargain, kita mesti mulai belajar numbuhin harga diri kita dengan cara yang benar. Ya bikin dong Indonesia yang benar. Supaya kita dihormati. Terlalu jauh? Yaa, minimal KITA yang benar deh. Urus hidup kita dengan benar.


Almira Aliya

One Thing About Palestine I Never Knew

Saya baru beres baca tulisan Arya Sandiyudha, mantan Ketua Salam UI 2005-2006 dan saya nemuin hal-hal baru, yang saya belum pernah tau.

Tentang Palestina nih. Tau lah, ya. Segala macem kekonyolan terjadi disitu. Ya bayangin aja, kamu punya rumah. Kamu udah tinggal disana sejak entah kapan, tapi lalu tiba2 ada orang asing dateng, ngegedor pintu rumah kamu keras2, marah2, dan mencak2 sambil teriak2 kalo
rumah itu adalah rumah punya dia dan kamu cuma numpang. Sekaligus, dia nyuruh kamu pergi. Jelas kamu ga mau kan? Normalnya malah kamu malah kasian sambil mikir nih orang kerasukan atau malah stres jadi gangguan mental ya? Nah, pas kamu nolak, eh nih orang malah ngerubuhin rumah kamu, nembakin bayi-bay i kamu, ngebantai bapak, paman-pama n kamu, memperkosa istri dan saudara-sauda ra perempuan kamu, ngebakar tanah-ta nah kamu, mutus suplai listrik dan air, nyetop suplai makanan, dan dengan resenya teriak2 di toa kalo kamulah yang udah nyakitin dia, supaya kedengeran sampai RW tetangga.

Kon yol, bukan? Tapi itu terjadi.

Dan, meski sejak dulu saya udah benci banget sama fenomena ini. Alasan saya waktu itu hanyalah karena saya dan orang Palestina sama-sama muslim, karena saya manusia berbudaya (mencoba untuk berbudaya) dan menghargai HAM makanya saya tau kalo ini adalah pelanggaran berat HAM dan ini harus dihentikan!!

Tapi, ternyata ga cuma itu. Ternyata ada alasan lain kenapa kita mesti dukung Palestina:

1.Palestina itu bangsa yang peduli banget sama penderitaan bangsa lain.

-Pas masa perjuangan kemerdekaan Indon esia, M. Ali Taher, Perdana Menteri Palestina , nyumbangin seluruh uangnya dari bank internasional untuk dana perjuangan Indonesia.
-Saat agresi militer I dan II, Palestina bersama Mesir, Irak, dan negara2 muslim yang lain, melakukan boikot, demonstrasi anti- Belanda. -Palesti na adalah salah satu negara
pertama yang mengakui kemerdekaan Indon esia, setelah sebelumnya juga ngelakuin diplomasi untuk Indonesia.
-Daan, di tengah derita mereka, hidup bertahun2 di tenda2 dan rumah2 darurat (DI NEGARA MEREKA SENDIRI) rakyat Palestina masih sempat ngirim sumbangan untuk KORBAN GEMPA DAN TSUNAMI DI ACEH.

Haduh, saya sih ga mau deh disebut bangsa yang ga tau cara berterima kasih.

Jadi, bantu apa ya?
Yaa, kalau memang kamu belum bisa bantu apa-apa, minimal doain dan jangan belagak ga peduli, ga tau atau bahkan ga mau tau ya.

:-)
Almira Aliya

Mentoring Is My Takaramono

Aku nulis ini dalam kerangka aku sebagai kakak mentor, peran yang udah aku jabanin sejak kelas 2 sma, lebih dari 4 tahun yang lalu. Waktu pertama kali dikasih tau Nisaul aku bisa jadi mentor untuk program FSII, yang ada di benakku adalah kekagetan: Wah, aku? Seriusan? Dan pertanyaan itu terus ada di kepalaku sampai Maret tahun selanjutnya, waktu aku ninggalin Indonesia untuk sementara. Apa mereka ga salah ya milih aku untuk jadi kakak mentor? Well, aku selalu ngerasa aku ga pantes.

Setahun di Jepang, jauh dari mana-mana (dari Bandung, dari Cimahi, dari Jakarta--maksudnya), dari siapa-siapa (temen2, keluarga, tetangga2, adik2 mentor), aku ngerasain kehilangan itu. kesepian itu. jepang adalah spektakuler dalam kesejahteraan dan kemajuannya tapi tetep ada yg kerasa kurang. Ya itu, sentuhan ruhaninya. tiba-tiba aku kangen semua kemeriahan dan kekhusyukan suasana spiritual yang pernah aku alami di rumahku, di sma3, di bandung, di indonesia. dan somehow aku janji waktu itu, kalo pulang aku mau sungguh2 ngurus adik2 mentorku, aku mau berusaha jadi mentor yg baik. yap, jadi itulah salah satu hasil kontemplasiku setahun di jepang. bahwa aku jadi sadar, mentoring is my takaramono.

Kalau ditanya kenapa, kenapa ya??

Kalo aku pikir sekarang, mungkin karena aku sejak dulu selalu punya visi kecil untuk jadi orang yang bisa berkontribusi dimanapun. Ini keinginan, ya. Bukan berarti aku udah. Tapi aku memang selalu suka untuk memastikan kalo aku ada di track yg tepat dan bahwa hidupku ga kelaluin sia-sia. Bisa jadi manfaat buat orang sekitar aku deh. Dan, aku rasa dgn jadi kakak mentor itu terbuka bgt peluangku untuk ngasih manfaat sama adik2. Cukuplah kalo diantara apa yg aku sampaikan ke mereka ada yg bermanfaat dan nginspirasi mereka--baik sekarang atau masa datang.

aku selalu optimis sama adik2ku.dan tentu sayang sekali pada semuanya. aku ga hanya ngebayangin mereka sebagai anak-anak sma yang lebih muda beberapa taun dari aku dan kadang suka riweuh sama masalah sendiri (hehe, becanda). gak. justru, aku ngebayangin mereka sebagai individu2 potensial yg kalo dikembangin secara benar, mereka bisa jadi orang2 besar di masa depan. bisa jadi pemimpin yg terkemuka di masyarakat! pemimpin dalam artian orang pertama yg melayani masyarakat..

Alasan kedua, karena meski aku bersyukur bahwa adik2ku berkata mereka dapat sesuatu dari mentoring, mereka ga akan pernah tau bahwa sejatinya aku yang justru banyak2 dapet manfaat dari mentoring ini. Aku belajar banyak dari mereka! Aku datang dengan kepala penuh oleh segala dinamika kampus--akademik, kemahasiswaan, dll, tubuh yang kdang udah capek banget nempuh perjalanan satu jam setengah lebih dari Jatinangor, tapi semua rasanya sirna aja saat disambut dengan binar mata antusias mereka, dengan sapaan gembira mereka. Dan selalu, aku pulang ke rumah dengan hati bahagia. ^^

Dan pikiran yang tercerahkan dengan diskusi2, refleksi2, dan sharing2 yang dilakukan selama mentoring. Kayak hari ini aja, topik yang diangkat adalah tentang manusia muda masa kini yg kabarnya punya slogan siap memimpin. Kami tinjau sama-sama nih; beneran siap? Kekuatan macam apa sih yang kita punya sampai kita bisa optimis kita siap? Trus, mumpung kita masih punya waktu untuk bebenah lebih lanjut, kita tinjau sama-sama: kelemahan macam apa sih yg masih kita punya sebagai manusia muda nasional? Masalah2nya anak muda sekarang..

So, satu perasaan kalo hidup kamu punya guna, lingkungan kondusif yang selalu bikin kamu kejaga, keluarga, what else could u ask sih? Makanya jadilah mentor! Mentor apa aja; mentor akademis, mentor organisasi, mentor kepemimpinan, mentor kehidupan, mentor SPMB, mentor agama Islam--Sesungguhnya Indonesia perlu lebih banyak mentor, perlu lebih banyak orang yang concern mengurusi pemudanya. ^^

Dan mudah-mudahan aku selalu jadi bagian dari pembangun itu. Amin.

Terima kasih Unpad!

Terima kasih Padjadjaran.
Dua tahun ini telah banyak kebaikan, kesyukuran.
Telah aku terima,
kini masanya aku mengasih.
Takkan aku tanya apa yang telah Padjadjaran berikan padaku,
akan aku tanya apa yang telah aku berikan untuk membangun Padjadjaran.
Saatnya membangun!!

Sebuah Pengakuan: Antara Aku, FKUI, dan FK Unpad

Iya ini pengakuan. Sebab awalnya aku berpikir bahwa lumayan memalukan untukku berpikir tentang hal ini. Sebab kurasa tidak dewasanya, tidak bijaksananya, tidak proporsionalnya. Tidak bisa menerima takdir? Apalagi sudah 2 tahun berselang, dan selama 2 tahun ini relatif pikiranku lempang-lempang saja.
Tapi pikiran ini memang ada di cerebral hemisphereku, sejak terutama kepulanganku dari Makassar, saat kulihat Hendy, Adi, Cie, dan anak-anak UI lain yang kutemui di konferensi nasional di Universitas Hasanuddin, dan sempat cukup mengganggu. Sebab kulihat Hendy berjas kuning, dan kukatakan dalam benakku, "Harusnya aku yang pakai jas kuning itu." Sebab Adi memberiku Media Aesculapius dan bergumam aku, "Harusnya aku ikut menulis banyak artikel di Media Aesculapius.", kemudian Adi juga memberiku gantungan kunci kuning Universitas Indonesia, lalu dengan getir kugantung di tempat pensil hadiah ulang tahun dari Ghea, ditingkahi kutemukan jas kuning bekas Ayah dulu saat mengambil program master di ujung lemari dan majalah alumni UI pemberian Kang Genis..Yaa, menyedihkan ya aku.
Aku pergi lagi ke masa 2 tahun lalu saat memutuskan kode jurusan untuk kutulis di form pendaftaran SPMB. Dan inilah yang menggangguku. Aku menulis kode 260143 di pilihan pertama. Pilihan kedua? Aku pilih Teknik Lingkungan ITB tapi tanpa desire yang cukup, bahkan sekarang kodenya pun sudah lupa lagi. Yap, dan inilah yang mengganggu.
Bagaimana bisa aku bahkan tidak menulis 220142? Aku mencoba mengingat keras apa yang terjadi pada pikiranku waktu itu. Sudah jelas; saat aku membaca ulang jurnal harian yang sudah kutulisi sejak SD dulu, aku sudah bercita-cita menjadi mahasiswa kedokteran berjas kuning yang rajin ikut aksi membela masyarakat..
Sudah jelas; sejak awal ikut bimbingan belajar di Nurul Fikri Sumbawa sampai beberapa try out terakhir saat intensif aku selalu menuliskan 220142 di kolom pilihan pertama jurusan, dan beberapa kali juga diterima!
Sudah jelas; saat Kang Kemal dan Kang Hadian guru NF memberi saran untuk masuk FK Unpad, dan Ayah keukeuh mempromosikan FK Unpad, aku bergeming dan tetap pada FKUI.
Lalu apa yang membuatku kemudian kini malah berjas biru?

Aku tidak bisa jawab pasti. Tentu saja ini 'tangan' Allah swt. Tentu saja ini doa Ayah. Tentu saja ini yang terbaik, kesimpulanku.
Rizka sahabatku mengomentari ceritaku, "Aku ngerti perasaanmu. Tapi ayo, sekarang saatnya membangun! Bukankah lebih keren jadi inisiator? Bukankah kamu sudah menginisiasi SRC (Science and Research Center)? Bukankah tulisanmu sudah banyak dimuat di Media Visus dan Medicinus?"
Kemudian Ghea, "Kalau kamu di UI, lalu Senat Mahasiswa FK Unpad akan sama siapa? Kalau kamu di UI, lalu siapa yang akan ajak aku masuk KASTIL (Kajian Strategis Ilmiah)?"

Meninggalnya Kakekku tadi malam mewarnai pikiranku, menstimulusku hingga sampai pada satu kalimat yang kuucap pada Ayah, "Berarti Yah, bukan UI atau Unpad yang penting, tapi bagaimana keikhlasan kita menjalaninya.." Ayah mengangguk.

Dan hari ini, saat aku mengurus keberangkatan dalam rangka beasiswa unggulan (insya Allah) ke Thailand Juli dan menyimak kesemarakan Unpad Dipati Ukur, aku sampai pada kesimpulan terakhirku: Bagaimanapun keren UI, UI bukan jodohku. Memang UNPAD ADALAH YANG TERBAIK UNTUKKU. Kupandang 2 tahun masa kuliahku di Unpad, dan masya Allah,penuh dengan kebaikan-kebaikan. Penuh kebaikan! Kebaikan yang--bagaimanapun hebatnya UI--belum pasti dapat kuperoleh juga jika aku jadi menuliskan 220142.
Ya, UI adalah impian (masa kecil)ku.
Tapi Unpad adalah jalan.
  • tempatku menemukan diri, berkembang, melejit, mengemuka.
  • tempatku tidak egois tapi berusaha gemilang sambil terus hidup berorientasi kebaikan masyarakat,
    • jadi teteh mentor Mima, Acha, Dep. Novita, Adis, Lita, Lysa, Vivi,Irna, Gesti, Gina, Sarah, Noor..
    • jadi teteh pembimbing Mirra, Alnis, Camar, Irma, Pusfa, Azra, Anita..
    • jadi mentor Sofa, Maryam, Fitria, Rima, Nestri, Chacha, Monik, Muthi..
    • berusaha jadi matahari untuk teman-teman..
    • berusaha jadi inspirator dan penggerak..
Unpad adalah kebahagiaan.
  • mendapatkan teman-teman terbaik: Zaenab, Nada, Anggi, Rizka, Intan, Ghea, dll.
Unpad adalah kebaikan.
kesempatan pengalaman lapangan (medis) yang banyak, kesempatan menjadi saksi langsung pemenangan Hade, berdekatan dengan keluarga, jadi mentor anak-anak hebat, bisa mengalami kemelejitan dalam akademis dan kemahasiswaan--Alhamdulillah!

Terima kasih Ya Allah, terima kasih Ya Allah.

Kamis, 15 Mei 2008

GRANT SAID IT WAS A DREAM, ... BUT WITH PHOTOS

Rasanya memang sebentar banget. Kadang jadi mikir ulang: bener gitu aku udah ngalamin semua itu? Tapi kata Grant, itu benar terjadi. Buktinya, kalau aku buka album, jelas-jelas tampak aku nyengir sama teman-temanku di depan Bandai Bashi atau Furumachi. Tapi tetap saja, kadang aku rasa ini hebat banget sebagai suatu kenyataan. JAnak umur 15 tahun, baru pertama kalinya keluar negeri, akhirnya dapet izin dari orang tuanya untuk nyoba kehidupan baru di negara yang untuk ke sana harus nempuh perjalanan pakai pesawat selama 8 jam...Selama setahun! Meski dulu aku rada maksa dan keukeuh supaya diizinin, sekarang pas udah bisa mikir lebih jernih, aku ngerti juga kenapa ortuku khawatir...^-^Masa setahun, begitu banyak hal yang terjadi. Yang menyenangkan, yang mengharukan, yang menyedihkan. Yang jelas semuanya bermakna dan aku ngambil banyak pelajaran darinya. Semua aspek dari kehidupanku di sana! Sebagai siswa pertukaran AFS Indonesia yang lagi stay di Niigata, Jepang, sebagai anak angkat keluarga Kasahara—Papa, Mama, Mika-neechan, Saki-nee, Ayu-nee, sebagai siswa SMA Seishin—tahu? Ini sekolah katolik khusus putri--sebagai teman dari teman-temanku: anak-anak yang datang dari seluruh dunia sesama siswa pertukaran juga teman-teman sekolahku.Jadi, ini mimpikah?Iya ini memang mimpi. Mimpi—yang jadi kenyataan. ^-^

Aku Lihat Hidupku dari Luar

Selama setahun sebelumnya sejak masuk SMA 3, aku beralih menjadi anak SMA yang begitu sibuk. Waktuku sebagian besar di sekolah. Sebagai anak MPK, ngawasin kerja OSIS, sebagai anggota ekskul, latihan-latihan dan pertemuan, sebagai pelajar, memenuhi tugas-tugas. Pergi pagi-pagi pulang malam. Dibanding SMP, aku lebih jarang belajar. Ke kelas pun kerap nggak hadir karena dispensasi urusan organisasi. Aku sibuk, aku capek. Setiap hari adalah rutinitas. Dan aku punya waktu lebih sedikit untuk berpikir.Secercah cahaya datang!! Inspirasi untuk ikut seleksi pertukaran pelajar, yang akhirnya di-ACC Allah swt sehingga tahun depannya aku benar-benar berangkat sebagai siswa pertukaran ke negerii-yang-sama-sekali-asing, Jepang. Negeri dimana penganut Islamnya sangat sedikit. Negeri yang agak materialis dan tidak begitu religius...Tapi aku jatuh cinta padanya dan memutuskan untuk menjalani kehidupan baru dengan segala tantangannya di sana—sendirian, selama setahun, di usia yang baru 15 tahun lebih.Menakjubkan! Melebihi segala antusiasme akan perjalanan ke luar negeri untuk pertama kalinya,melebihi kelegaan nggak perlu belajar fisika untuk sementara—aku terpukau karena selama perjalanan ini aku merasa hidupku seperti di’pause’ untuk sementara. Tepatnya, hidupku di Indonesia. Rasanya seperti aku ditarik keluar dari satu arus dan aku bisa memandangi arus tadi dari pinggir sungai. Mengamatinya, menganalisis segala komponennya. Aku melihat hidupku secara lebih objektif, dari luar. Tersadarkan aku akan banyak hal yang luput untuk kusyukuri, akan segala hal melelahkan yang telah kehilangan esensi, akan segala atribut dan karakter yang dibentuk kuat dari pengalaman masa lalu, latar belakang, dari mana aku berasal. Ada beberapa hal dalam kehidupan yang tidak bisa aku pilih—aku mau terlahir sebagai perempuan atau laki-laki, anak Indonesia atau Prancis,suku Sunda atau Tionghoa...Dan semua orang pun!Sebelumnya, karena ketidakdewasaan dan jiwa mudaku yang meledak-ledak dipicu egoisme, aku kerap tidak bisa memahami maksud orang tuaku—termasuk Nenek, Kakek, tante-tante, paman-paman. Perhatian mereka kuartikan sebagai upaya mencampuri urusan, arahan mereka kupandang sebagai pengekangan. Dan mereka tampak sebagai manusia-manusia tua yang tidak akan pernah bisa memahamiku.Tapi, ketika aku berlayar sendirian aku akhirnya menyadari kebenarannya. Aku punya orang tua terhebat di dunia! Kadang memang ironis,aku baru menyadari betapa aku menyayangi keluargaku setelah jauh dengan mereka. Setelah peluang berkomunikasi menjadin terbatas—selama di Jepang, less phone call, letter and e-mails are better. Aku baru mafhum bahwa aku membutuhkan semua arahan ortu, nenek, kakek, ketika akhirnya dihadapkan pada situasi-situasi yang harus kupecahkan sendiri. Aku sepenuhnya bertanggung jawab pada diriku. Segala keputusan yang aku ambil akan berpegaruh terhadap masa depanku. Aku membawa nama negara dan agama. Tidak main-main! Aku semacam diplomat ’junior’. ^-^Hal kedua, mengenai tanah airku. Di Indonesia, berita yang terutama muncul adalah berita-berita menyesakkan. Lihatlah koran-koran, maka yang terutama muncul sebagai headline adalah keprihatinan. Ya, aku tak memungkiri bahwa itu memang kenyataan yang benar-benar terjadi dan karena itu harus kita terima, tapi, untuk maju ke masa depan yang lebih baik, kita harus punya sedikit kebijaksanaan yang lebih untuk mengakui bahwa bangsa ini bagaimanapun masih punya kebaikan. Kebaikan yang harus dioptimalkan sehingga menjadi peluang! Dan semuanya baru aku sadari ketika aku terpisah jauh dari tanahku.Berada di negara maju dengan segala pernak-pernik kekayaannya, modernitas, kemudahan fasilitas, dan keindahan alamnya memang membuatku begitu bersyukur karena pernah merasainya. Sudah kukatakan aku jatuh cinta pada Jepang bahkan sebelum aku benar-benar menginjakkan kaki di sana. Tapi terlepas dari itu ada romantisme lain yang tumbuh dengan mekar...Aku juga jadi jauh lebih mencintai tanahku. Indonesia! Segala kehangatan, religiusitas, kejujuran, kedekatan dengan Tuhan swt, pemahaman lebih akan hakikat hidup, kesabaran, pengorbanan, semangat muda, keberanian! Semua, terutama mengenai generasi muda Indonesia yang insya Allah takkan mengecewakan. Semuanya kurindukan!God, batinku. Aku berkesempatan untuk bersekolah di dua sekolah terbaik. SMA Negeri 3 Bandung, dan SMA putri Seishin. Dua karakter berbeda, keunggulan masing-masing. Seishin yang cantik, berbudi pekerti, anggun, sekolah termahal di prefektur Niigata. SMA 3? SMA 3 adalah harapan! Kalaupun ada orang yang bertanya manakah fase hidup yang benar-benar kubanggakan karena sangat menempa karakterku, maka aku secara tegas akan menyatakan bahwa itu adalah keberhasilanku untuk masuk SMA 3. Dan bahkan kebanggaanku berlipat-lipat setelah aku cuti bersekolah. Aku semakin menyadari betapa pandai anak-anak Indonesia! Secara potensi kita tidak kalah sama sekali. Mengertikah? Kita punya bakat-bakat emas. Jangan tertipu oleh orang-orang yang menyatakan negara kita tidak punya harapan dan terbelakang. Kita tidak kalah! Aku percaya sepenuhnya dengan kesungguh-sungguhan kita bisa melakukan perubahan di masa depan. Aku belajar bersama-sama pelajar Jepang, Jerman, Thailand, Amerika, Australia, New Zealand, Bolivia, Brazil, dan aku membatin dengan takjub, ”Teman-temanku di SMA 3 tidak kalah pintarnya dengan mereka—bahkan lebih!!!” Dan aku bangga menjadi bagian dari mereka.Pada akhirnya fragmen-fragmen beranjak utuh. Akan kulengkapi lagi juga saat ini, sejak 6 Februari 2005 lalu, dimana akhirnya aku meninggalkan second home country-ku. Pada hari itu aku menekan ulang tombol start di kehidupan Indonesiaku. Aku telah meninjau dan kini aku kembali.^-^...Tadaima!!!!!Akatsukaeki wo omoidasu*sore-sore menjelang petang, bersepeda di antara sawah-sawahDi belakang terminal Akatsuka. Menyapa dengan bersemangatPetani-petani tua yang gigih,Dijawab kehangatan dan senyuman menenangkan,Aku bersepeda menuju matahari yangTenggelam meninggalkanku.Udara segar, pikiranku penuh.Mengembara ke bumi jawa.*

The Kisetsu of Niigata

Waktu pertama kali saya memutuskan untuk memilih Jepang sebagai prioritas pertama host country untuk masa exchange saya, sebetulnya saya belum tahu begitu banyak tentang Negara ini. Saya pilih Jepang tanpa bayangan kota spesifik yang ingin saya tuju. Hm, tiap kota apa bedanya, sih? Ya, tentu saya tahu Tokyo. Ibukota Negara yang—waktu itu, kabarnya—amat padat, penduduknya jalan buru-buru…dan sedikit gambaran dari dorama Tokyo Love Story yang saya tonton waktu kecil.

Oh, ada juga Kyoto. Waktu saya SMP, Ayah dan Ibu pernah diberi kesempatan untuk menemani dokter-dokter dari Kyoto University yang sedang berkunjung ke Bandung. Ayah antusias sekali dan bercerita amat banyak tentang dokter-dokter itu dan Kyoto. Sebenarnya saat itu juga saya menetapkan cita-cita untuk jadi dokter spesialis lulusan Kyoto University—hehe, kalaupun sekarang ternyata kuliah di Universitas Padjadjaran, belum tentu cita-cita ini pupus, kan? Bisa saja untuk pendidikan spesialis nanti! Aamiin…

Tapi secara umum, sama-sama saja. Makanya ketika saya terima surat keterangan yang menyertakan gambaran singkat keluarga angkat dan daerah yang akan menerima saya selama setahun, yang ada hanya antusiasme! Jadi, saya akan tinggal selama setahun di Niigata-shi, Niigata-ken. Mm, prefektur Niigata. Dimana itu? Pulau Honshu, sama dengan Tokyo, hanya berjarak 300 km ke sebelah Barat Laut. Saya mengingat-ingat. Niigata: pernah dengar tidak, ya? Rasanya pernah sekali, waktu stadion Big Swan, Niigata jadi tempat berlangsungnya pertandingan antara Irlandia dan Spanyol saat Piala Dunia 2002. Tapi ya masih blank juga. Apalagi karena kesibukan di sekolah yang seolah ga ada habis-habisnya padahal sudah dekat waktu keberangkatan (Januari-Maret 2004), saya juga ga sempat surfing di internet dan cari info lebih lanjut—hanya sempat mengirim kartu pos satu kali pada keluarga angkat saya, keluarga Kasahara.

Pertama kali tiba di Niigata tanggal 27 Maret 2004, saat itu sedang musim semi. Udara masih sangat dingin, terutama untuk saya yang datang dari negara yang hangat sepanjang tahun seperti Indonesia. Saya sering menggigil, pakai jaket tebal, kaos kaki, sarung tangan, sampai ditertawakan teman-teman dan keluarga saya di sana. ”Konna no wa mou atatakain da yo!” (Yang kayak gini sih udah hangat, lho!) Hehehe. Saya ketawa-ketawa aja, hitung-hitung adaptasi juga dengan udara dingin. Meski ada yang jadi meragukan apa saya bakal bertahan hidup saat musim dingin yang suhunya mencapai minus derajat—halo, musim semi ’cuma’ 15°C, lho!—tapi saya optimis. Lama-lama juga badan saya kebal! Hehe, iya gitu?

Saat musim semi, Niigata menjadi istimewa karena sakura bermekaran dimana-mana. Saya sempat pergi sekeluarga untuk melihat sakura malam hari ke Takada Kouen di Joetsu. Bunga sakura yang pink memesona, saat malam hari disinari pencahayaan yang mengagumkan. Subhanallah, keren banget deh! Paginya, biasanya banyak keluarga yang piknik di bawah sakura. Menggelar alas lalu makan sekeluarga. Sekolah-sekolah dimulai akhir April. Di hari pertama saya sekolah, setiap kelas dipotret untuk foto kelas di depan pohon sakura yang bermekaran di depan sekolah.
Udara memang masih dingin, tapi beranjak April, matahari mulai bersinar, menghangat. Saking hangatnya, saya ga bisa berhenti tersenyum. Rasanya semua positif! Pokoknya mood saya bagus banget sepanjang hari.

Musim panas, kehangatan itu mulai menggila. 40°C. Orang-orang malas ke luar, lebih baik tetap di dalam rumah yang dingin ber-AC. Kalaupun terpaksa ke luar rumah tentulah dengan pakaian yang super-minimalis—kecuali saya tentunya, saya kan berjilbab. J

Tapi di tengah hal-hal seperti itu, banyak hal lain yang mengagumkan tentang musim panas. Bagaimana mendeskripsikannya? Biru yang sangat biru dan hijau yang amat hijau! Terutama Niigata, yang dikenal sebagai ibukota air karena banyaknya sungai yang mengalir di dalamnya, termasuk sungai terpanjang di Jepang, Shinanogawa. Juga pantai yang mengelilinginya, karena Niigata terletak di pinggir Barat Laut pulau Honshu. Pada musim panas ini pantai sangat ramai. Saya sendiri sepulang sekolah selalu berlari ke pantai bersama kawan satu sekolah saya yang berasal dari Wisconsin, Amerika Serikat. Sekolah saya terletak di dekat pantai.

Juga di musim panas, banyak diselenggarakan festival-festival (omatsuri). Saya sempat hadir selama dua hari omatsuri yang diadakan di kota Nagaoka, kota sebelah Niigata yang juga berada di prefektur Niigata. Dalam omatsuri biasanya ada kembang api (hanabi). Inilah yang patut dibanggakan dari Nagaoka. Hanabi disini adalah yang terbesar di Jepang. Tak heran sepanjang jalan sangat ramai, karena orang-orang se-Jepang banyak berdatangan ke kota kecil ini. Kami menggelar tikar di pinggir-pinggir sungai, mengenakan yukata atau kimono musim panas—lebih tipis, lebih murah J--bercengkrama dengan keluarga, dan menyaksikan hanabi yang spektakuler. Sangat menghangatkan hati!

Musim gugur ialah musim kesukaan saya. Kecantikannya begitu memesona. Perpaduan warna-warna bertebaran sepanjang penglihatan: merah, oranye, kuning, hijau, coklat di pepohonan. Aki no kouyou (autumn leaves). Hal ini tidak bisa ditemukan di seluruh bagian Jepang, hanya di tempat-tempat tertentu, termasuk Niigata. Udara sangat segar. Orang-orang masih berselimutkan keceriaan musim panas dan kemuraman musim dingin belum lagi datang... di musim inilah, saya sering terpaku, merenung. Keindahan alam-Nya teramat mengingatkan saya akan keMahabesaran-Nya, akan keberadaan-Nya dimanapun. Kalau ciptaanNya saja sebagus ini, maka tak terbayangkan betapa Maha Indahnya Dirinya!! Haiku-haiku—puisi singkat berlarik khas Jepang, biasanya bertemakan alam—banyak saya hasilkan di musim ini.

Musim dingin suramkah? Mm, saya malah antusias! Hehe, bisa dimaklumi, di Indonesia saya kan tidak pernah menemui salju—oh oke, di TV. Salju memang kadang merepotkan, kereta jadi tidak sesuai jadwal karena banyak yang terhambat salju yang mengumpul di rel, mobil juga harus hati-hati agar tidak tergelincir, atap rumah harus secara rutin dibersihkan dari salju karena kalau tidak, salju yang ternyata amat berat ini bisa meruntuhkannya! Belum lagi saat salju turun lebat, jalanan penuh diselimuti salju yang bahkan bisa mencapai lutut saya. Saya harus mengenakan sepatu bot dan berjalan dengan susah payah. Dengan dibalut seragam sekolah musim dingin yang bersweater dan berjas luar, kemudian juga jas musim dingin yang panjang, syal, sarung tangan, repot memang, tapi berjalan di luar sendirian di tengah kesunyian—karena orang-orang malas keluar—amat mengasyikkan pula. Saya banyak berintrospeksi sepanjang jalan.

Saat suhu menukik turun mencapai minus, saya lebih suka tinggal di dalam rumah. Lantai di rumah diperlengkapi pemanas, hangat...saat turun salju saya senang duduk di depan jendela, memperhatikan bulir-bulir putih lembut turun, membasahi jalan yang akhirnya murni putih semua. Saya suka keheningan saat salju turun, rasanya damai. Saat membayangkan betapa dinginnya di luar, saya bersyukur ada di dalam dan bisa menghangatkan tubuh dengan susu coklat hangat.. J

Di akhir Desember, diadakan ski trip untuk siswa pertukaran dari seluruh dunia di Joetsu city. Di tempat ini salju turun dengan lebih lebat sehingga bisa digunakan untuk ski. Menakjubkan rasanya, waktu pertama kali mencoba. Sulit, sulit. Tubuh saya rasanya sulit diseimbangkan, jadi saya terus terjatuh. Tapi lama-lama mencoba, akhirnya bisa meluncur juga. Meski harus hati-hati agar tidak menabrak anak-anak yang sedang bermain disana juga—saya belum bisa mengerem dengan pandai!

Timbunan salju nampak sangat empuk—hehe—untuk ditiduri. Saya dan teman-teman senang berteriak-teriak lalu terjun bebas ke salju yang menggumpal tebal dimana-mana. Dingin! Muka kami sampai merah dan saat berbicara keluar uap. Kelihatan lucu.

Selama di Jepang, saya berkesempatan untuk mengunjungi pula Tokyo, Chiba, Kyoto, Osaka dan Fukuoka. Semua dengan keistimewaan masing-masing. Tokyo dengan keramaiannya, Chiba yang ber-Disneyland. Kyoto yang ancient. Osaka dengan ciri pedagangnya yang sangat ramah. Fukuoka yang begitu berkesan dengan gedung-gedung perkantoran yang terletak tepat di depan pantai-pantai... begitu indah!

Tapi, Niigata tak pernah tergantikan. Like they always say, nothing’s like home! And here’s my second home!!!

A PIECE OF PEACE (A DREAM OF MINE)

A peace is a dream. Dreamt by almost everyone in this one wide world but also very close to be given in and be forgotten by same ones. It has been too difficult to make true. Only a dream on a humid summer and at last they only hope to face it in heaven upward.I was listening to their thoughts and hardly believe. I got my mind to the zero mind and tried to reflect it all again. I started recalling things I’ve got two years ago—an intensive learning of a right concept of world peace for eleven months. I was away for Japan as an ordinary exchange student on March 2004 and got back to Indonesia with million fresh ideas of a realistic peace.It’s not an impossible thing to do—no doubt about it now! Yeah we know differences are always there. It’s really easy to see, so eye-catching. It’s like when I was alone in crowd in the centre of Niigata, Tokyo, Kyoto, Osaka or Fukuoka, guess who didn’t want to put an eye on me even for a second only to make sure there really was a stranger covering her head with a scarf? There were times I felt annoyed and I almost believed I was really different. In my host school—a Catholic Notre dame high school—I was the one who was Moslem. Also I was the only girl in a girl’s high school that obviously had colored-skin representing tropical climate in Southeast Asia between clear white skinned friends. Again I almost believed I was truly different. Only almost! But no. I kept moving with a vision that all those curious looks one day would be replaced by warm knowing friendly looks. It’s been proven successfully, though. August 2004, only four months to go, I had become not really realize I came from different countries with them. Who had not? My friends were just the same as me. Even homeroom teacher laughed to see how we completely mixed. I tried really hard to master Japanese and I did it. As a result, my friends told me to change my nationality.No, no, that was only a joke. Nationality was only a matter of administration, we did not need any piece of paper to feel we were one and laugh together. Difference exists however—even for me and my mom. There are differences in our blood-type, in our favorite foods. There are no two people exactly the same, aren’t there? Go opening your eyes widely now. Indeed there are so many differences, but they never become as many as same things among us. I and my Germany best friend have so many things that are not the same but we like each other. We are both girls. We have critical thinking, like to make a comment of any strange thing around us, love adventures and go trying new things. We like the same type of music, like reading, so many same things!There is really nothing to complain about.